Terminal Teluk Lamong dan APBS jadi yang pertama
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki belasan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah negeri yang membentang dari Sabang di ujung barat hingga ke Merauke di ujung timur. Wilayah yang terdiri dari pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh lautan yang luasnya mencapau lebih dari separuh total luas wilayah Indonesia. Tak ayal jika Indonesia dikenal juga sebagai negara maritim mengingat luas wilayah perairan tersebut.
Letak geografis Indonesia juga sangat menguntungkan karena letaknya yang berada di tengah-tengah jalur perdagangan dunia. Terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta benua Asia dan Australia. Indonesia tidak pernah sepi, khususnya oleh kapal-kapal yang membawa komoditas perdagangan dari satu negara ke negara lain. Sejak zaman dahulu, Inodnesia sudah menjadi tempat tujuan bagi saudagar untuk berdagang atau hanya sekedar untuk transit. Kejayaan maritim nusantara terjadi saat kerajaan Majapahit dapat menguasai beberapa kerajaan lain di semenanjung Malaya hingga ke Filipina tahun 1300-an silam.
Ratusan tahun telah berlalu dan kini kejayaan masa Majapahit hanya sebatas sejarah bagi masyarakat Indonesia. Kerinduan menjadi negara maritim didengung-dengungkan oleh pemerintah hasil pemilu 2014. Bahkan dalam salah satu program kerjanya yang dikenal dengan Nawa Cita, Presiden RI Joko Widodo menyebutkan akan memperkuat jati diri bangsa sebagau negara maritim. Perencanaan pengembangan infrastruktur, aturan -aturan pendukung hingga implementasi di lapangan mulai dilaksanakan.
Salah satu infrastruktur yang dikembangankan untuk mewujudkan cita-cita mengembalikan kejayaan maritim nusantara adalah infrastruktur pelabuhan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di ASEAN.
Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2013/2014 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF), peringkat infrastruktur dan konektivitas Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 148 negara. Sedangkan negara lain seperti Singapura menempati tempat ke-2 dunia, Malaysia ke-29, Thailand ke-47, Brunei Darussalam ke-58, dan Indonesia berada pada peringkat ke-61 dunia. Satu tahun berselang, data WEF 2014/2015 menyebutkan peringkat Infrastruktur dan konektivitas Indonesia meningkat dari peringkat ke-61 menjadi peringkat ke-56 dunia.
Berdasar laporan tersebut, ketersediaan infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih dianggap kurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya biaya logistik nasional jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Arus barang ekspor dan impor maupun antar pulau menjadi terhambat dan biaya logistik semakin membengkak. Melihat hal tersebut, pemerintah pada tahun 2015 ini akan melakukan revitalisasi 24 pelabuhan utama untuk mempertajam visi poros maritim demi tercapainya pembangunan maritim di Indonesia.
Dimulai dari Timur
Upaya pengembangan infrastruktur ke pelabuhan di Indonesia telah lama dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) atau Pelindo III. Sebagai BUMN, Pelindo III merupakan pengelola 43 pelabuhan umum yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia salah satunya adalah Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pelabuhan Tanjung Perak kini menjadi pelabuhan terbesar kedua di Indonesia setalah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Arus kapal dan barang yang melalui pelabuhan Tanjung Perak daru tahun ke tahun semakin meningkat. Sebut saja arus petikemas, tahun 2014 lalu tercatat sebanyak 3.1 juta TEU’s petikemas meningkat empat persen dari tahun sebelumnya sebanyak 2.9 juta TEU’s. Demikian halnnya dengan curah kering yang pada tahun 2013 lalu tercatat 7.3 juta ton menjadi 8.6 juta ton di tahun 2014.
Mengantisipasi pertumbuhan arus kapal dan barang melalui Pelabuhan Tanjung perak, Pelindo III membangun Terminal Teluk Lamong. Tahap pertama pembangunan Terminal Teluk Lamong dimulai pada tahun 2010 silam dan telah selesai pada tahun 2014 lalu. Terminal Teluk Lamong tahap pertama memiliki luas sekitar 39 hektar dengan kapasitas petikemas 1.5 juta TEU’s dan kapasitas curah kering 5 juta ton.
Terminal Teluk Lamong juga akan menjadi terminal semi otomatis dan ramah lingkungan pertama di Indonesia. Alat-alat yang digunakan digerakkan dengan tenaga listrik dan bersifat otomatis. Ada juga yang bertenaga gas dan solar dengan standar EURO 4. ini semua dilakukan untuk menekan emisi gas buang di sekitar pelabuhan. Nilai investasi untuk pembangunan proyek ini mencapai angka Rp 3.4 triliun.
Selain membangun fisik infrastruktur pelabuhan, Pelindo III juga melakukan revitalisasi Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). APBS merupakan akses masuk menuju Pelabuhan Tanjung Perak sepanjang 25 mil laut. Sebelum direvitalisasi, alur ini memiliki kedalaman minus 9.5 meter Low Water Spring (LWS) dengan lebar 100 meter. Alhasil, kondisi tersebut membatasi ukuran dan muatan kapal yang masuk maupun keluar dari Pelabuhan Tanjung Perak.
Pada tahun 2015 lalu Pelindo III memulai proyek revitalisasi AOBS dengan biaya sekitar USD 76 juta. APBS diperdalam dari minus 9.5 meter LWS menjadi minus 13 meter LWS. Alur ini juga diperlebar dari 100 meter menjadi 150 meter. Pada bulan Mei ini, proyek tersebut telah dinyatakan selesai dan dapat dilalui oleh kapal-kapal berukuran dan bermuatan lebih besar.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pelindo III bertujuan untuk memperkuat infrastruktur pelabuhan di Indonesia. Penguatan infrastruktur pelabuhan akan mampu menekan biaya logistik nasional yang saat ini tergolong tinggi. Dengan dukungan infrastruktur yang memadai, kapal-kapal niaga yang masuk dan keluar tak lagi berukuran kecil. Kapal-kapal dengan ukuran dan muatan besar dapat masuk dan bersandar di pelabuhan di Indonesia. Artinya, muatan-muatan kapal dari indonesia yang dikirim ke negara-negara lain tak harus transit di Singapura, tetapi langsung dapat menuju ke negara tujuan atau ke pelabuhan terdekat dari negara tujuan.
Era baru kejayaan maritim Indonesia akan segara dimulai. Kejayaan maritim yang pernah diukir oleh Majapahit akan dimulai dari Jawa Timur, dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.