Posisi Indonesia yang terletak di persilangan lalu lintas pelayaran dunia menyimpan potensi pendapatan negara yang besar.
Setiap hari, ribuan kapal hilir mudik di laut Indonesia. Tiap kali melintas, kapal tersebut wajib melapor ke otoritas laut dan wajib membayar sejumlah biaya.
Mirip seperti dunia penerbangan, kapal yang ingin lewat melapor dan dipantau oleh stasiun pengawas yang dikenal dengan nama vessel traffic service (VTS).
Stasiun inilah yang menyediakan sejumlah jasa yang tarifnya bervariasi. Pendapatan tersebut masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ada beberapa jenis jasa dan tarif PNBP di sektor perhubungan laut, antara lain jasa kepelabuhanan, jasa kenavigasian, dan denda administratif.
Tidak tanggung-tanggung, setiap stasiun VTS bisa meraup pendapatan hingga miliaran rupiah per bulan. Saat ini, Indonesia memiliki 21 stasiun VTS yang tersebar di titik-titik strategis lalu lintas laut Indonesia.
Salah satu titik perlintasan yang belakangan mulai ramai adalah Selat Lombok yang berada di bawah pengelolaan Distrik Navigasi Benoa, Provinsi Bali.
Sudarwedi, Kepala Distrik Navigasi Benoa, mengatakan dalam satu bulan kapal yang melintas di wilayahnya rata-rata 1.500 unit, sedangkan yang bersandar di Pelabuhan Benoa rata-rata 300 unit kapal per bulan.
“Dalam satu bulan kami bisa dapat sampai Rp1 miliar. Padahal kami baru mulai beroperasi resmi di sini per Januari tahun lalu,” katanya, belum lama ini.
Kapal yang melintas di wilayahnya rata-rata adalah kapal penumpang wisata. Selain itu, ada pula kapal kargo dan kapal tanker yang mengangkut logistik dan minyak. Rute kapal tersebut adalah dari Australia menuju Filipina dan Jepang atau sebaliknya.
Dia memaparkan pemasukan tersebut berasal dari PNBP stasiun VTS yang nilainya sekitar Rp200 juta per bulan, sedangkan sisanya berasal dari jasa rambu yang dibayarkan oleh kapal-kapal yang melintas di wilayahnya.
Wilayah kerja Distrik Navigasi Benoa mencakup Pelabuhan Benoa sampai dengan Selat Lombok yang ada di sebelah utara. Sebagai informasi, Selat Lombok termasuk dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II.
Peroleh PNBP juga datang dari perairan Selat Malaka. Kepala Distrik Navigasi Tanjung Pinang Kepulauan Riau Raymond Ivan yang mengawasi wilayah Selat Malaka mengatakan setiap tahun PNBP VTS rata-rata Rp12 miliar. “Itu baru jasa VTS, belum termasuk jasa rambu,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia berencana mengambil sebagian segmen jalur pelayaran di selat tersebut yang saat ini masih dikontrol oleh VTS Singapura. Dengan langkah itu, pemasukan bisa menjadi lebih besar.
“Kalau nanti kapasitas kami semakin baik, kami akan berbicara di level internasional agar sebagian segmen di sana itu kami yang kontrol,” imbuhnya.
Sampai saat ini, Indonesia belum diberi kepercayaan untuk mengontrol jalur pelayaran di Selat Malaka karena kapasitas VTS di Tanjung Pinang masih belum memadai. Padahal, Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan salah satu jalur pelayaran paling sibuk di dunia.
BESARAN TARIF
Besar kecilnya tarif PNBP jasa kenavigasian yang dibayarkan kapal bergantung kepada bobotnya. Kapal yang wajib berpartisipasi adalah yang bobotnya di atas 300 gross tonnage (GT).
Selain itu, kapal yang panjangnya 30 meter atau lebih yang sedang menarik atau mendorong dengan kombinasi panjang 30 meter juga wajib membayar jasa kenavigasian.
Besaran tarifnya mulai dari US$20 sampai dengan US$30 untuk angkutan laut luar negeri dan Rp75.000 sampai dengan Rp200.000 untuk angkutan dalam negeri.
Pengguna jasa wajib menyetorkan secepatnya ke kas negara melalui beberapa cara penyetoran seperti melalui teller, ATM, Internet banking, dan electronic data capture (EDC). Pengecualian diberikan pada kapal perang NKRI dan kapal penunjangnya, kapal patroli negara, kapal kenavigasian dan kapal SAR.
Petunjuk pelaksanaan atas jenis dan tarif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Ditjen Perhubungan Laut.